Dear Kakak, Ketika Takdir Menuntun Seorang Pemuda Mendirikan Peradaban
Kak, Kakak tahu nggak apa yang paling menarik dari sejarah? Bukan hanya kisah kejayaan tetapi terdapat pelajaran dan hikmah (ibrah) yang bisa kita bawa pulang ke hati. Seperti sosok Abdurrahman Ad-Dakhil, sang El-Fatih dari Andalusia, yang tak menyerah meski terusir dan kehilangan segalanya. Ia bangkit dan membangun kembali peradaban. Ayat Allah dalam Q.S Ar-Ra'd (11) menjadi nyata dalam hidupnya: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka." Sejarah mengajarkan perubahan besar selalu dimulai dari keberanian memperbaiki diri, Kak.
![]() |
University of Montana - YSEALI Academic Fellowship - YSEALI Woman |
Kakak, coba kita renungkan sejenak ...
Bayangkan, usia Abdurrahman Ad-Dakhil saat itu bahkan belum genap 25 tahun, usia muda yang bagi sebagian orang ungkin baru mulai merasa arah hidup. Tapi di usia itu, Allah telah membukakan jalan luar biasa baginya untuk mendirikan Daulah Umayyah II di tanah yang jauh dari kampung halamannya; Spanyol, Eropa. Sebuah negara asing yang kelak menjadi tempat berseminya kembali cahaya Islam hingga tahun 1031 M. Tapi semua itu tak datang begitu saja, Kak. Ada yang istimewa dalam dirinya, yang menjadi bukti nyata dari ayat Allah: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri." (Q.S. Ar-Rad; 11).
Apa yang ada pada diri Abdurrahman? Akhlak yang mulia. Ia mencintai keadilan, menjadi penolong bagi yang terzalimi, dekat dengan orang-orang teraniaya, menjenguk yang sakit, memimpin shalat lima waktu bersama rakyatnya, bertahajud di malam hari, makan bersama rakyatnya, dan melayani mereka tanpa jarak. Semua sifat itu adalah bentuk perubahan dari dalam, kesalehan pribadi yang menjadi pondasi kesalehan sosial. Dan lihatlah bagaimana Allah mengubah keadaannya: dari pelarian yang kehilangan segalanya menjadi penguasa yang paling disegani di Eropa. Itulah buah dari hidup yang sesuai dengan sunatullah, bahwa siapa yang memperbaiki diri, Allah akan memperbaiki keadaannya.
Kakak, maukah menjadi pribadi seperti itu di zaman Kakak kelak?...
Iya, Kak, Kisah Abdurrahman Ad-Dakhil ini sungguh menggugah jiwa. Seperti sebuah perjalanan yang ditulis langsung oleh takdir dengan tinta keberanian dan air mata kehilangan.
Kala itu, Abdurrahman baru berusia 19 tahun, usia yang seharusnya masih berada dalam kenyamanan istana. Tapi justru pada usia itulah, takdir menantangnya lebih awal. Ia dipaksa melarikan diri saat keluarganya, Dinasti Umayyah, dihancurkan oleh kekuasaan baru: Dinasti Abbasiyah, dengan hati yang remuk, ia melangkah meninggalkan Irak, menyusuri panasnya gurun Syiria menuju Palestina. Belum selsai penderitaan, ia kembali menyebrangi ganasnya Gurun Sinai menuju Mesir. Tapi ia tak berhenti.
Langkahnya terus maju, melewati wilayah demi wilayah di Afrika Utara, sampai akhirnya mencapai Andalusia, negeri yang pernah ditaklukkan oleh leluhurnya, dan kelak akan ia bangkitkan kembali.
Perjalanan ini bukan sekadar pelarian, Kak. Ini adalah ujian, proses pembentukan jiwa, dan persiapan seorang pemuda yang akan ditakdirkan memimpin. Dan semuanya bermula dari satu hal: Ia tak menyerah. Ia mengubah apa yang ada pada dirinya, dari kekuatan menjadi keberanian, dari kehancuran menjadi harapan. Dan karena itulah, Allah mengubah keadaannya menjadi kemenangan yang abadi dalam sejarah.
Benar sekali, Kak. Di balik kisah pelariannya yang penuh luka, tersimpan jiwa kepemimpinan yang matang sebelum waktunya.
Abdurrahman bukan hanya pemberani, tapi juga seorang pemuda yang cerdas membaca situasi. Ia tahu, merebut kembali kekuasaan dari Dinasi Abbasyiah di Timur bukanlah pilihan yang bijak, terlalu besar risikonya, terlalu banyak darah. Maka ia mengarahkan pandangannya ke Barat, ke tanah Andalusia, tempat di mana benih kejayaan Umayyah pernah tumbuh, Dengan pasukan kecil yang ia himpun selama pengembaraannya yang terdiri dari orang-orang setia dan suku-suku lokal, ia menyusun stategi untuk menaklukan Cordoba.
MashaAllah, Kak. Dengan izin Allah, Cordoba pun jatuh ke tangannya. Kota itu bukan hanya simbol kemenangan, tapi juga titik balik sejarah Islam di Eropa. Abdurrahman menjadikan Cordoba sebagai ibu kota kekuasaannya dan dari sanalah peradaban baru dibangun; peradaban yang akan dikenang dunia karena kemajuan ilmu, budaya, dan keadilan selama berabad-abad.
Itulah bukti bahwa keberanian tanpa kebijaksanaan hanya akan jadi api yang membakar, Kak. Tapi keberanian yang dipimpin oleh kecerdasan, itulah yang membangun peradaban.
Doa dari Mommy untuk Kakak ...
Ya Allah, Tuhan yang Maha pengasih dan Maha Mengetahui. Dalam setiap hembus nafasku, kusematkan harapan untuk, Kakak, anakku kelak. Jadikanlah ia anak yang berhati lembut namun teguh, yang cerdas dalam berpikir, tapi lebih bijak dalam bersikap.
Ya Allah, lindungilah langkah-langkahnya dalam terang petunjuk-Mu. Jauhkan ia dari kesedihan yang melemahkan dan kesombongan yang membutakan, tanamkan dalam jiwanya cinta kepada kebaikan dan keberanian untuk memperjuangkannya.
Semoga Kakak tumbuh menjadi cahaya, yang tak hanya menerangi dirinya sendiri, tapi juga menjadi suluh bagi sekitar. Mewarisi semangat para pemimpin bijak seperti Abdurrahman Ad-Dakhil, yang meski jatuh, memilih untuk bangkit dan membangun peradaban.
Jika dunia keras padanya, lembutkan hatinya dalam doa, jika dunia gelap, jadikan imannya sebagai pelita dan jika suatu hari ia ragu, bisikkan dalam hatinya, bahwa mommy selalu percaya, Kakak diciptakan untuk hal-hal besar.
Aamiin ya Rabbal 'Alamin ...
Comments
Post a Comment